Oleh: Ali Akbar Hasibuan
Pada bulan maret 1928 seorang anak tukang jam bernama
Hassan al-Banna dan beberapa tokoh lainnya seperti Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman
Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi mendirikan sebuah jamaah yang
diberi nama Ikhwanul Muslimin. Dimana sebelum jamaah ini berdiri, Imam Syahid
Hassan al-Banna sudah terlebih dahulu melakukan dakwahnya dari warung ke
warung. Sejauh perkembangannya, jamaah ini bisa dikategorikan sebagai suatu
jamaah yang paling cepat melesat dan paling populer dikalangan pergerakan.
Terakhir pada tahun 2012, jamaah yang didirikan di kota Ismailiyah (Mesir) ini
sudah menyebar keseluruh dunia dan tak kurang dari 70 puluh negara yang telah mengadopsi
pergerakan ini. Seperti Turki, Malaysia, Indonesia dan banyak lainnya.
Ikhwan
Indonesia
Beberapa sumber menyebutkan mengenai proses masuknya
Ikhwan ke Indonesia, yaitu melalui jamaah haji dan pendatang arab sekitar tahun
1930-an. Sewaktu zaman kemerdekaan, Haji Agus Salim pergi ke Mesir untuk
mencari dukungan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial. Disana Haji
Agus Salim bertemu langsung dengan pemimpin Ikhwan yakni Imam Syahid Hassan al-Banna.
Ikhwan semakin berkembang di Indoensia setelah Muhammad Natsir yang merupakan
murid dari Haji Agus Salim mendirikan partai Masyumi, yang dimana ajarannya
mengadopsi al-ikhwanul al-muslimun. Tapi saat-saat manis seperti itu tidak
bertahan lama, karena terjadinya kekisruhan politik di Indonesia maka Masyumi
diberedel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya. Seiring dengan berjalannya
waktu maka muncullah gerakan-gerakan baru di Indonesia yang kembali mengadopsi
pergerakan Ikhwan. Seperti Partai Keadilan pada tahun 1998, Partai Masyumi Baru
tahun 1998, Ikhwanul Muslimin Indonesia 2001, Persaudaraan Muslimin Indonesia
dan banyak lainnya, walaupun tidak jelas mana yang secara resmi berhubungan
langsung dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Menurut Yusuf Qaradhawi, partai Keadilan (pada tahun 2002
berganti nama menjadi PKS) merupakan perpanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang
mewadahi komunitas terbaik kalangan muda intelektual yang sadar akan agama,
negeri, dunia, dan zamannya (wikipedia).
Sekarang di zaman dewasa ini, Ikhwan di dunia sudah memilki wajah-wajah baru yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, karena memang tuntutan zaman dan
budaya mengharuskan seperti itu.
Disini saya tidak akan
membahas tentang masalah itu, karena tidak bijak rasanya membahasa suatu
masalah yang wacananya jauh kedepan dan melintasi generasi maupun budaya. Tapi
disini menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang sangat krusial, yang
harus dibicarakan tentang pemikiran-pemikran segelintir kader Tarbiyah yang
hidup dan berdakwah di Indonesia.
Pertama, ialah lupa akan sejarah
bangsa. Secara tidak langsung, seolah para Ikhwah di Indonesia lupa akan
sejarah bangsanya sendiri yang pahit akan caci dan makian. Lupa akan perjuangan
tokoh-tokoh dahulu yang telah
berdarah-darah dalam memerdekaan Indonesia. Kebanyakan (tapi tidak semua)
dipikiran para ikhwah Indonesia, tokoh yang ada dan layak menjadi panutan hanyalah
Hassan al Banna, Sayyid Quthub dan tokoh-tokoh Ikhwan lainnya. Padahal dalam
konteks strategi dakwah, seharusnya jika kita hidup dan menebarkan kebaikan
(dakwah) di Indonesia tentulah kita harus mengindonesia terlebih dahulu. Karena
dalam penyampaian dakwah, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hati. Dimana
hati bisa disentuh dengan dakwah apabila cara penyampaiannya sesuai dengan seluk-beluk
sosial suatu komunitas masyarakat. Jamak diketahui bahwa rakyat Indonesia,
sebelum ada Ikhwan sudah memiliki komunitas-komunitas agama senidiri, terutama
Nahdlatul Ulama yang kental akan budayanya. Jadi jangan salahkan apabila
gerakan-gerakan lain mengatakan bahwa Ikhwan itu tidak mengindonesia.
Yang kedua ialah minim basis komunitas, yang saya maksud
“komunitas” disini ialah komunitas yang berkaliber besar dan tahan uji sejarah.
Misalnya seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-washliyah dan lain-lain. Goresan
sejarah membuktikan dengan mudah partai Masyumi diberedel oleh Soerkarno, karena
memang partai yang didirikan pada tanggal 7 November 1945 itu tidak memiliki
basis komunitas tersendiri. Seharusnya sejarah pahit ini tidak boleh kita
cicipi kembali, maka dari itu hendaklah para kader Tarbiyah Indonesia kembali
lagi ke basicnya yang dahulu. Yang Nahdlatul
Ulama kembali lagi ke Nahdlatul Ulama, yang Muhammadiyah kembali ke Muhammadiyah
dan begitu juga dengan yang lainnya. Karena langkah ini akan memudahkan Tarbiyah
untuk masuk kedalam sendi-sendi orgnasisasi yang telah ada sebelumnya. Dan besar
kemungkinan apabila langkah itu dilakukan, kader-kader Tarbiyah bisa hadir
sebagai penyeimbang kefanatikan terhadap suatu golongan atau organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri masukan sobat, komentar anda merupakan motivasi bagi saya untuk lebih baik lagi.