24 April 2013

Menjadi Ikhwan Indonesia

Oleh: Ali Akbar Hasibuan
Pada bulan maret 1928 seorang anak tukang jam bernama Hassan al-Banna dan beberapa tokoh lainnya seperti Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi mendirikan sebuah jamaah yang diberi nama Ikhwanul Muslimin. Dimana sebelum jamaah ini berdiri, Imam Syahid Hassan al-Banna sudah terlebih dahulu melakukan dakwahnya dari warung ke warung. Sejauh perkembangannya, jamaah ini bisa dikategorikan sebagai suatu jamaah yang paling cepat melesat dan paling populer dikalangan pergerakan. Terakhir pada tahun 2012, jamaah yang didirikan di kota Ismailiyah (Mesir) ini sudah menyebar keseluruh dunia dan tak kurang dari 70 puluh negara yang telah mengadopsi pergerakan ini. Seperti Turki, Malaysia, Indonesia dan banyak lainnya.

Ikhwan Indonesia
Beberapa sumber menyebutkan mengenai proses masuknya Ikhwan ke Indonesia, yaitu melalui jamaah haji dan pendatang arab sekitar tahun 1930-an. Sewaktu zaman kemerdekaan, Haji Agus Salim pergi ke Mesir untuk mencari dukungan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial. Disana Haji Agus Salim bertemu langsung dengan pemimpin Ikhwan yakni Imam Syahid Hassan al-Banna. Ikhwan semakin berkembang di Indoensia setelah Muhammad Natsir yang merupakan murid dari Haji Agus Salim mendirikan partai Masyumi, yang dimana ajarannya mengadopsi al-ikhwanul al-muslimun. Tapi saat-saat manis seperti itu tidak bertahan lama, karena terjadinya kekisruhan politik di Indonesia maka Masyumi diberedel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya. Seiring dengan berjalannya waktu maka muncullah gerakan-gerakan baru di Indonesia yang kembali mengadopsi pergerakan Ikhwan. Seperti Partai Keadilan pada tahun 1998, Partai Masyumi Baru tahun 1998, Ikhwanul Muslimin Indonesia 2001, Persaudaraan Muslimin Indonesia dan banyak lainnya, walaupun tidak jelas mana yang secara resmi berhubungan langsung dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Menurut Yusuf Qaradhawi, partai Keadilan (pada tahun 2002 berganti nama menjadi PKS) merupakan perpanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang mewadahi komunitas terbaik kalangan muda intelektual yang sadar akan agama, negeri, dunia, dan zamannya (wikipedia). Sekarang di zaman dewasa ini, Ikhwan di dunia sudah memilki wajah-wajah baru yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, karena memang tuntutan zaman dan budaya  mengharuskan seperti itu.
Disini saya tidak akan membahas tentang masalah itu, karena tidak bijak rasanya membahasa suatu masalah yang wacananya jauh kedepan dan melintasi generasi maupun budaya. Tapi disini menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang sangat krusial, yang harus dibicarakan tentang pemikiran-pemikran segelintir kader Tarbiyah yang hidup dan berdakwah di Indonesia.
Pertama, ialah lupa akan sejarah bangsa. Secara tidak langsung, seolah para Ikhwah di Indonesia lupa akan sejarah bangsanya sendiri yang pahit akan caci dan makian. Lupa akan perjuangan tokoh-tokoh dahulu yang  telah berdarah-darah dalam memerdekaan Indonesia. Kebanyakan (tapi tidak semua) dipikiran para ikhwah Indonesia, tokoh yang ada dan layak menjadi panutan hanyalah Hassan al Banna, Sayyid Quthub dan tokoh-tokoh Ikhwan lainnya. Padahal dalam konteks strategi dakwah, seharusnya jika kita hidup dan menebarkan kebaikan (dakwah) di Indonesia tentulah kita harus mengindonesia terlebih dahulu. Karena dalam penyampaian dakwah, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hati. Dimana hati bisa disentuh dengan dakwah apabila cara penyampaiannya sesuai dengan seluk-beluk sosial suatu komunitas masyarakat. Jamak diketahui bahwa rakyat Indonesia, sebelum ada Ikhwan sudah memiliki komunitas-komunitas agama senidiri, terutama Nahdlatul Ulama yang kental akan budayanya. Jadi jangan salahkan apabila gerakan-gerakan lain mengatakan bahwa Ikhwan itu tidak mengindonesia.
Yang kedua ialah minim basis komunitas, yang saya maksud “komunitas” disini ialah komunitas yang berkaliber besar dan tahan uji sejarah. Misalnya seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-washliyah dan lain-lain. Goresan sejarah membuktikan dengan mudah partai Masyumi diberedel oleh Soerkarno, karena memang partai yang didirikan pada tanggal 7 November 1945 itu tidak memiliki basis komunitas tersendiri. Seharusnya sejarah pahit ini tidak boleh kita cicipi kembali, maka dari itu hendaklah para kader Tarbiyah Indonesia kembali lagi ke basicnya yang dahulu. Yang Nahdlatul Ulama kembali lagi ke Nahdlatul Ulama, yang Muhammadiyah kembali ke Muhammadiyah dan begitu juga dengan yang lainnya. Karena langkah ini akan memudahkan Tarbiyah untuk masuk kedalam sendi-sendi orgnasisasi yang telah ada sebelumnya. Dan besar kemungkinan apabila langkah itu dilakukan, kader-kader Tarbiyah bisa hadir sebagai penyeimbang kefanatikan terhadap suatu golongan atau organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

beri masukan sobat, komentar anda merupakan motivasi bagi saya untuk lebih baik lagi.