Rabu, tanggal
15 mei 2013 saya dan teman-teman organisasi mengunjungi seorang tokoh, ustad
Fatan Fantastik sapaan akrabnya. Kunjungan kami ini memang sudah menjadi salah
satu agenda angkatan kami sebagai organisasi KAMMI. Sekitar pukul empat sore
kami berangkat dari kampus untuk menuju rumah beliau di Godean (spesifiknya
saya lupa). Walaupun pelbagai rintangan, akhirnya kami sampai di rumah beliau
pukul lima sore, memang waktu yang kami habiskan unutk perjalanan itu cukup
lama, maklumlah kami berangkatnya secara rombongan, apatah lagi ada akhwatnya,
yang membawa motor bagaikan membawa becak (lambat). Sesampainya di
rumahnya ustad fatan Fantastik, kami disambutnya dengan senyum nan ramah,
apatah lagi sekitar sepuluh menit kemudian kami disuguhi makanan-makanan ringan
dan minuman, yang menambah nilai kenyamanan. Tidak ada acara khusus sih kami ke
sana, hanya sekedar sharing-sharing saja seputar perjuangan beliau di kampus
dahulu.
Menurut saya
ada suatu kata-kata beliau yang menarik “Dakwah
di kampus adalah sebagai awal untuk dakwah di masyarakat”. Dan saya
membenarkan perkataan ini, karena kampus merupakan tempat yang representatif
untuk melatih mental dan memperkaya wawasan. Di mana kampus sebagai entitas
medan perjuangan, dalam menguji ketahanan ideologi para kader yang telah
meng-azam-kan dirinya sebagai ruh dakwah itu sendiri. Karena di kampus kita
akan menemui kultur yang sangat berbeda-beda satu sama lain. Mulai dari
fundamental, hedon, demokrat sampai yang agak kiri. Di sinilah kepekaan dan
kepahaman kita akan di uji, kita hanya punya satu pilihan, yakni antara : menjadi
sebuitir telur ketika di dalam air panas, menjadi kopi yang mengubah warna air
atau bahkan menghindar sama sekali. Pilihan itu di tangan kita!
Tak terasa,
waktu yang memisahkan kami dengan sang ustad yang juga penulis buku “enak bener
jadi orang pinter dan Bikin belajar seenak Coklat”. Pada intinya, pertemuan
kami dengan beliau telah menambal semngat-semangat kami kembali, yang mungkin
sebelumnya telah koyak oleh terpaan badai angin dengan realitas medan yang
terjal.
Ada perasaan
salut tersendiri kepada beliau, di mana beliau rela untuk meninggalkan gemerlap
perkotaan dengan tinggal di desa. Ini memang karena panggilan dakwah itu
sendiri. Bahwa beliau tinggal di desa itu untuk membangun masyarkat agar lebih
cinta lagi kepada agamanya. Cerita beliau yang menarik dan yang masih saya
ingat ialah, beliau tidak mau membangun masjid baru untuk pesantren yang di
bangun dari wakaf para kaum-kaum berjuis. Beliau beranggapan biarlah masjid
yang telah ada di tengah-tengah masyarakat itu di hidupkan kembali, karena
kalau membangun masjid baru untuk santri-santirnya, maka masjid yang telah ada
itu akan tetap seperti itu, tetap tak terawat. Pandangan yang cerdas menurut
saya, walaupun masjid yang lama itu agak kecil. Tapi tidak menjadi masalah,
karena lebih baik mengecilkan masjid dengan jama’ah yang membeludak dari pada
melapangkan masjid dengan kekosongan jama’ah.
Akhirnya, kami
pulang dari rumah beliau sekitar pukul delapan malam, padahal sebelumnya kami
berniat untuk pulang lebih awal. Tapi apa yang hendak dikata, Allah lah yang
punya kuasa. Rintik-rintikan hujanNya menjadi rahmat sekaligus pelipur lara
bagi kami untuk lebih lama lagi membersamai ustad fatan. Acara silaturrahim
kami itu diakhiri dengan fhoto bersama dengan beliau, agenda pada hari itu
terasa cukup bermanfaat dengan segala motivasi dari beliau. Apa lagi kegiatan
ini membuat kami semakin akrab sesama kader sebuah organisasi, yang kami yakini
sebagai wadah perjuangan permanen dalam mebentuk kader-kader pemimpin masa
depan dalam mewujudkan bangsa dan negara yang Islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri masukan sobat, komentar anda merupakan motivasi bagi saya untuk lebih baik lagi.