1 Juli 2013

Tarbiyah Sebagai Bentuk Alienasi?

Oleh: Ali Akbar Hasibuan
Menarik untuk dikaji sebuah konsep gerakan Tarbiyah, yang dipandang sebagai gerakan mutakhir yang paling efektif untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di masa lampau. Tarbiyah dengan sistem halaqahnya, memang menjadikan para kadernya lebih solid dalam hal persaudaraan (ukhwah). Di mana dalam satu halaqah, para anggotanya dibatasi dan tidak lebih dari sepuluh orang. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan Jama’ah ini kuat dan tetap solid walau badai tiada berlalu. Karena biasanya semakin sedikit sebuah komunitas, maka semakin tinggi tingkat solidaritasnya (militan). Namun, tetap saja tidak ada sebuah gerakan yang anti-kritik. Pun demikian dengan Jama’ah Tarbiyah. Mungkin kita pernah mendengar, tentang adanya sebagian kader-kader Tarbiyah yang cenderung untuk menegasikan kelompok-kelompok lain bahwa mereka bukanlah bagian kita, kelompok di luar Tarbiyah salah dan Tarbiyah lah yang paling benar. Apabila sudah terjadi seperti ini, tentu ada yang salah sehingga mejadikan Tarbiyah sebagai bentuk alienasi (pengasingan) bukan sebagai pembebasan!

Menurut hemat penulis ada beberapa faktor yang yang menjadi penyebab hal seperti ini bisa terjadi. Pertama Halaqah yang eksklusif, seperti dijelaskan di atas bahwa anggota dari sebuah halaqah tidak lebih dari sepuluh orang. Menurut penulis ini yang menjadi salah satu penyebabnya. Di mana halaqah secara tidak sadar telah menciptakan kelompok komunal yang tidak terbuka terhadap kelompok lain. Jika dilihat secara kasatmata, jelas bahwa halaqah merupakan kegiatan eksklusif dan sebagai bentuk pengasingan. Mulai dari tempatnya hingga orang-orangnya.

Kedua adalah fanatisme golongan, Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat, bahwa kebanyakan orang muslim suka berbuat fanatisme golongan yang dia sebut dengan sikap ta’ashshub. Sepertinya kritikan Kang Jalal ini, bisa juga dialamatkan kepada sebagian kader-kader Tarbiyah yang terlalu bangga dengan ke-tabiyah-annya. Seolah Jama’ah ini adalah Jama’ah yang paling benar dan yang paling disukai Tuhan. Kalau dilihat dari segi geneologisnya mengenai Tarbiyah yang lebih akrab dengan Ikhwanul Muslimin, kita akan sampai pada sang pembaharu Islam yakni Jamaluddin Al-Afghani (baca: Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani).
Kang Jalal dalam bukunya “Islam Aktual” menyebutkan bahwa Jamaluddin adalah seorang yang nonsektarian, lebih lanjut Kang Jalal mengatakan ketika Jamaluddin ditanya menegenai mazhab yang dianutnya, Jamaluddin menjawab, “Aku adalah seorang  muslim”. Walaupun muridnya Muhammad Abduh mengatakan bahwa beliau bermazhab Hanafi.
Terlepas dari kontroversi mengenai ada atau tidaknya mazhab yang dianut Jamaluddin, menurut penulis ada nilai yang bisa kita ambil, yakni tidak adanya sifat maksum sebuah Jama’ah. Kita harus sadar bahwa Jama’ah Tarbiyah bukanlah satu Jama’ah yang paling benar di muka bumi. Sehingga kita akan dapat bertoleransi dengan kelompok lain apabila terjadi perbedaan pendapat.

Ketiga adalah pengultusan kepada figur, masih segar dalam ingatan kita mengenai kasus korupsi yang menimpa salah seorang petinggi partai. Anehnya, para kader-kader Tarbiyah membela secara membabi-buta tanpa melihat dampaknya terhadap Jama’ah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal ini, tapi seharusnya pembelaan itu dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan hanya sekadar teriakan di jalanan yang semakin memperkeruh suasana perpolitikan. Sudah saatnya kita bercerai dengan sikap-sikap pengultusan manusia, sekalipun itu seorang ulama.

Cak Nur dalam bukunya “Islam Doktrin & peradaban” mengatakan, para tokoh Islam yakni para ulama, sama sekali tidak mempunyai wewenang keagamaan. Mereka hanya mempunyai wewengan keilmuan (dalam agama). Maka dari itu mereka disebut dengan “sarjana” (Arab: ‘alim, mufrad; ‘ulama’, jamak). Tentulah sebagai kaum sarjana yang hanya mempunyai wewenang keilmuan, apapun pendapat para ‘ulama’ kuat atau lemah adalah sebanding dengan tingkat pengetahuan mereka. Tanpa wewenang suci, dan dapat selalu ditandingi atau dibantah. Sebagaimana kata Cak Nur tersebut, itu untuk seorang ulama yang pendapatnya dapat dibantah, apalagi hanya sekelas petinggi partai.

Karena apabila kita tetap bersikukuh mempertahankan sikap pengultusan ini, sesungguhnya kita telah mencederai prinsip keimanan itu sendiri. Yang seharusnya kita kultuskan adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tauhid atau Monoteisme, bukan yang lainnya. Sehingga kita tidak menciptakan “thagut” yang berarti tiran dan menjelma menjadi nidd (jamak: an-dad, saingan tuhan).

kembali ke topik awal, yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Tarbiyah sebagai bentuk alienasi (pengasingan)? Bisa ya bisa tidak. Jawaban ya, apabila kader Tarbiyah belum bisa bercerai dengan sikap-sikap yang telah disebutkan dan menyebabkan Tarbiyah semakin dibenci karena sikap fanatik yang berlebihan. Bisa juga tidak, yakni dengan meninggalkan perilaku-perilaku tersebut, dan melebarkan sayap dengan menjalin ukhwah islamiyah dengan berbagai kelompok lainnya. Semuanya dikembalikan lagi kepada kader Tarbiyah. Apakah bisa memanifestasikan ke-Tarbiyah-annya dalam bentuk perbuatan yang positif, atau malah menjadi perbuatan yang negatif dengan mendiskreditkan kelompok-kelompok lain.

2 komentar:

  1. saya teringat kisah nyata saat saya bertemu dengan saudari tarbiyah saya saat berkumpul dengan teman-teman yg bukan tarbiyah, dia hanya berjabat tangan dan menyapa saya saja, saya pun tak enak hati dengan teman-teman yg bukan dari tarbiyah. dalam benak saya sebagai kader tarbiyah jangan sampai kita memakai kacamata kuda ^^.. hanya melihat saudara kita cuma yg dari kader tarbiyah saja, ya kan?
    sebagai kader tarbiyah harus memiliki pikiran yang terbuka, apalagi dengan zaman yang sekarang ini, apalagi berkontribusi dengan umat :)

    tulisan yang bagus, selamat bekarya akhy...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

beri masukan sobat, komentar anda merupakan motivasi bagi saya untuk lebih baik lagi.