Oleh: Ali Akbar Hasibuan
Menarik untuk dikaji sebuah konsep gerakan Tarbiyah, yang
dipandang sebagai gerakan mutakhir yang paling efektif untuk membangkitkan
kembali kejayaan Islam di masa lampau. Tarbiyah dengan sistem halaqahnya,
memang menjadikan para kadernya lebih solid dalam hal persaudaraan (ukhwah). Di mana dalam satu halaqah,
para anggotanya dibatasi dan tidak lebih dari sepuluh orang. Mungkin faktor
inilah yang menyebabkan Jama’ah ini
kuat dan tetap solid walau badai tiada berlalu. Karena biasanya semakin sedikit
sebuah komunitas, maka semakin tinggi tingkat solidaritasnya (militan). Namun, tetap saja tidak ada sebuah gerakan yang anti-kritik.
Pun demikian dengan Jama’ah Tarbiyah.
Mungkin kita pernah mendengar, tentang adanya sebagian kader-kader Tarbiyah
yang cenderung untuk menegasikan kelompok-kelompok lain bahwa mereka bukanlah
bagian kita, kelompok di luar Tarbiyah salah dan Tarbiyah lah yang paling
benar. Apabila sudah terjadi seperti ini, tentu ada yang salah sehingga
mejadikan Tarbiyah sebagai bentuk alienasi (pengasingan) bukan sebagai
pembebasan!
Menurut hemat penulis ada beberapa faktor yang yang
menjadi penyebab hal seperti ini bisa terjadi. Pertama Halaqah yang eksklusif, seperti dijelaskan di atas
bahwa anggota dari sebuah halaqah tidak lebih dari sepuluh orang. Menurut
penulis ini yang menjadi salah satu penyebabnya. Di mana halaqah secara tidak
sadar telah menciptakan kelompok komunal yang tidak terbuka terhadap kelompok
lain. Jika dilihat secara kasatmata, jelas bahwa halaqah merupakan kegiatan eksklusif dan sebagai bentuk pengasingan.
Mulai dari tempatnya hingga orang-orangnya.
Kedua
adalah fanatisme golongan, Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat, bahwa
kebanyakan orang muslim suka berbuat fanatisme golongan yang dia sebut dengan
sikap ta’ashshub. Sepertinya kritikan
Kang Jalal ini, bisa juga dialamatkan kepada sebagian kader-kader Tarbiyah yang
terlalu bangga dengan ke-tabiyah-annya. Seolah Jama’ah ini adalah Jama’ah
yang paling benar dan yang paling disukai Tuhan. Kalau dilihat dari segi
geneologisnya mengenai Tarbiyah yang lebih akrab dengan Ikhwanul Muslimin, kita
akan sampai pada sang pembaharu Islam yakni Jamaluddin Al-Afghani (baca: Rasyid
Ridha, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani).
Kang Jalal dalam bukunya “Islam Aktual” menyebutkan bahwa Jamaluddin adalah seorang yang nonsektarian, lebih lanjut Kang Jalal
mengatakan ketika Jamaluddin ditanya menegenai mazhab yang dianutnya,
Jamaluddin menjawab, “Aku adalah seorang
muslim”. Walaupun muridnya Muhammad Abduh mengatakan bahwa beliau
bermazhab Hanafi.
Terlepas dari kontroversi mengenai ada atau tidaknya mazhab
yang dianut Jamaluddin, menurut penulis ada nilai yang bisa kita ambil, yakni
tidak adanya sifat maksum sebuah Jama’ah.
Kita harus sadar bahwa Jama’ah Tarbiyah
bukanlah satu Jama’ah yang paling
benar di muka bumi. Sehingga kita akan dapat bertoleransi dengan kelompok lain
apabila terjadi perbedaan pendapat.
Ketiga adalah
pengultusan kepada figur, masih segar dalam ingatan kita mengenai kasus korupsi
yang menimpa salah seorang petinggi partai. Anehnya, para kader-kader Tarbiyah
membela secara membabi-buta tanpa melihat dampaknya terhadap Jama’ah. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan hal ini, tapi seharusnya pembelaan itu dilakukan berdasarkan bukti-bukti
yang jelas, bukan hanya sekadar teriakan di jalanan yang semakin memperkeruh
suasana perpolitikan. Sudah saatnya kita bercerai dengan sikap-sikap
pengultusan manusia, sekalipun itu seorang ulama.
Cak Nur dalam bukunya “Islam Doktrin & peradaban” mengatakan, para tokoh Islam yakni
para ulama, sama sekali tidak mempunyai wewenang keagamaan. Mereka hanya
mempunyai wewengan keilmuan (dalam agama). Maka dari itu mereka disebut dengan
“sarjana” (Arab: ‘alim, mufrad; ‘ulama’, jamak). Tentulah sebagai kaum sarjana
yang hanya mempunyai wewenang keilmuan, apapun pendapat para ‘ulama’ kuat atau
lemah adalah sebanding dengan tingkat pengetahuan mereka. Tanpa wewenang suci,
dan dapat selalu ditandingi atau dibantah. Sebagaimana kata Cak Nur tersebut,
itu untuk seorang ulama yang pendapatnya dapat dibantah, apalagi hanya sekelas
petinggi partai.
Karena apabila kita tetap bersikukuh mempertahankan sikap
pengultusan ini, sesungguhnya kita telah mencederai prinsip keimanan itu
sendiri. Yang seharusnya kita kultuskan adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tauhid atau Monoteisme, bukan yang lainnya. Sehingga kita tidak menciptakan “thagut” yang berarti tiran dan menjelma
menjadi nidd (jamak: an-dad, saingan tuhan).
kembali ke topik awal, yang menjadi pertanyaannya adalah,
apakah Tarbiyah sebagai bentuk alienasi (pengasingan)? Bisa ya bisa tidak.
Jawaban ya, apabila kader Tarbiyah belum bisa bercerai dengan sikap-sikap yang
telah disebutkan dan menyebabkan Tarbiyah semakin dibenci karena sikap fanatik
yang berlebihan. Bisa juga tidak, yakni dengan meninggalkan perilaku-perilaku
tersebut, dan melebarkan sayap dengan menjalin ukhwah islamiyah dengan berbagai
kelompok lainnya. Semuanya dikembalikan lagi kepada kader Tarbiyah. Apakah bisa
memanifestasikan ke-Tarbiyah-annya dalam bentuk perbuatan yang positif, atau
malah menjadi perbuatan yang negatif dengan mendiskreditkan kelompok-kelompok
lain.
saya teringat kisah nyata saat saya bertemu dengan saudari tarbiyah saya saat berkumpul dengan teman-teman yg bukan tarbiyah, dia hanya berjabat tangan dan menyapa saya saja, saya pun tak enak hati dengan teman-teman yg bukan dari tarbiyah. dalam benak saya sebagai kader tarbiyah jangan sampai kita memakai kacamata kuda ^^.. hanya melihat saudara kita cuma yg dari kader tarbiyah saja, ya kan?
BalasHapussebagai kader tarbiyah harus memiliki pikiran yang terbuka, apalagi dengan zaman yang sekarang ini, apalagi berkontribusi dengan umat :)
tulisan yang bagus, selamat bekarya akhy...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus