Mengejutkan,
pengadilan tindak pidana Mesir yang dikuasai militer menjatuhkan hukuman mati
terhadap 529 pendukung Mohammad Mursi, dengan dakwaan telah membunuh petugas
kepolisian. Fakta ini nampaknya kembali menggugah rasa kemanusiaan kita,
bagaimana mungkin “setengah ribu” manusia yang bernyawa, dengan mudahnya begitu
saja akan segera dicabuti nyawanya. Berbagai kritikanpun bergulir, baik dari
kalangan barat (diwakili oleh uni eropa) dan juga dari kalangan timur (khsusnya
penduduk dengan mayoritas muslim). Kritikan ini bukan tanpa alasan, cepatnya
proses penjatuhan hukuman sampai dengan dikebirinya hak untuk didampingi oleh pengacara,
menjadi argumen mereka. Sebagaimana telah dilansir media, untuk jumlah orang sebanyak ini
pengadilan hanya membutuhkan waktu tidak sampai dua hari (dengan berkas
mencapai ribuan halaman) untuk menjatuhkan hukuman mati.
“sejarah
pasti berulang” kata seseorang. Tragedi kemanusiaan di Mesir ini kembali
mengingatkan kita pada masa orde baru. Tepatnya kasus pembantaiaan sejuta
manusia Indonesia yang dituduh sebagai PKI oleh Soeharto. Masa yang kelam itu
hampir mirip dengan apa yang terjadi saat ini di Mesir. Bahkan proses dalam
merebut kekuasaan antara pemeran yang di Indonesia dan di Mesir hampir sama.
Hanya bedanya, kalau di Mesir kudetanya secara terang-terangan tapi di
Indonesia kudetanya agak sedikit ‘elegan” dengan legitimasi Supersemar.
Pergolakan
arab spring selama ini memberi
harapan baru. Di mana banyak dari para pemimpin diktator terguling, salah
satunya seperti yang tejadi di Mesir beberapa tahun yang lalu. Husni Mubarok
sebagai orang yang pailng berkuasa ternyata dapat dikalahkan dengan aksi massa
lapangan square. Dakwah demokrasi baratpun berhasil, dengan dilaksanakannya
pemilihan umum dan Mursi keluar sebagai pemenang. Ternyata setelah berjalan
beberapa tahun muslim Mesir tidak ‘”gagap” dalam memainkan demokrasi.
Anggapan
barat akan kekacauan internal Mesir ketika memainkan demokrasi ternyata salah. Dan
awal ini ditandai dengan kebangkitan Pos-Islamisme di negara-negara muslim. Di mana
Pos-Islamisme sebagai sebuah terminologi baru untuk menggambarkan fenomena baru
dalam gerakan politik Islam, yang tadinya demokrasi dianggap sebagai barang
haram berubah menjadi barang yang halal, dan dapat dilakoni dengan cantik oleh
gerakan politik Islam. Sang propagandis tidak akan senang dengan hal ini.
Diamnya mereka terhadap kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap presiden
sah mesir secara konstitusi adalah buktinya.
Sebagaiman
kita ketahui bahwa Mohammad Mursi terpilih sebagai presiden Mesir yang sah
secara konstitusi dan dilakukan dengan cara yang demokratis. Yang menjadi
pertanyaan adalah, bukankan pihak barat yang selama ini menggembar-gemborkan
demokrasi? Tapi kenapa barat seolah tak punya suara ketika demokrasi itu
dikebiri, seperti kudeta militer tersebut. Sekali lagi Mursi adalah presiden
yang sah secara konstitusi.
Kembali
ketopik awal, hukuman mati yang dijatuhkan kepada 529 pendukung presiden Mursi adalah
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, apatah lagi jika dikaitkan dengan Hak
Asasi Kemanusiaan. Karena dalam prinsip HAM telah diatur hak kebebasan untuk
hidup. Pada prinsipnya jika melihat cara pandang barat, tidak penting “caranya
apa” tapi yang terpenting “siapa pemainnya”. Jika yang memainkan dan berkuasa itu
kelompok-kelompok yang tidak disukai maka akan tetap diberangus, tidak penting
jalur apa yang dimainkan kelompok tersebut ketika berkuasa. Seperti Ikhwanul
Muslimin yang merebut kekuasaan dengan jalur demokrasi, maka cara-cara yang
tidak demokratis akan digunakan untuk memberangusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri masukan sobat, komentar anda merupakan motivasi bagi saya untuk lebih baik lagi.